BAGIAN I, BERAWAL DARI KAMI KITA MELANJUTKAN CERITANYA
BAGIAN I
BERAWAL DARI KAMI
KITA MELANJUTKAN CERITA NYA
BERAWAL
DARI KAMI
AWALNYA:
KETIKA ALAM
MULAI MENYAPA
- Karena tanpa alam, kita bukan
apa-apa -
Pembukaan AD/ART HP
Cukup sulit mengingat-ingat kejadian-kejadian 25 tahun silam, tumpukan “berkas-berkas” kehidupan
tak terasa mulai mengubur beberapa detil ingatan. Beruntung ada foto-foto “jadul”, dan cerita dari banyak kawan yang kembali menguak sedikit demi sedikit rangkaian kejadian.
Harsha Pratala adalah sebuah wadah. Ia adalah buah dari ketakjuban dan sekumpulan pertanyaan dari
rasa penasaran akan sesuatu yang selalu kita rasakan, ketika melihat gunung di kejauhan, langit sore yang berkilauan, atau lembutnya hujan yang membawa bau tanah dan harapan. Pada kejadian-kejadian seperti itu, kita tidak dapat menafikan sebuah “panggilan” untuk kembali mendengarkan apa yang ingin disampaikan oleh alam.
Konon, pada masanya dahulu, manusia dan alam dapat bercakap layaknya dua sahabat baik seperjalanan. Saling menjaga dan mengingatkan, agar selamat sampai ke tujuan. Sejalan dengan majunya “peradaban”, kita membangun tembok yang semakin tinggi dengan alam. Sebagian besar kita, misalnya, sejak lahir, telah dipisahkan dari alam. Terangnya lampu listrik di malam hari, membuat kita tidak pernah menengadah untuk mengetahui sedang apa bulan saat ini? Rapatnya tembok pemukiman hampir membuat kita tidak pernah mengetahui perbedaan arah bertiupnya angin dan apa yang ingin diceritakannya? Dan sejak saat itu, kita mulai berhenti berbicara dengan alam. Namun, entah bagaimana, tampaknya kodrat untuk mampu mendengarkan “suara” alam selalu ada pada kita semua. Karena ketika kita diberi kesempatan untuk “berduaan” dengan alam, maka suara-suara panggilan itu akan kembali terdengar lagi, sayup sampai, mengajak-ajak kita untuk masuk dan turut kembali ke alam.
“Suara-suara” alam inilah yang mungkin kami dengar kembali dalam rangkaian kegiatan kampus STEKPI yang dilaksanakan bersebelahan dengan alam pada saat itu. Awalnya ia hanya menarik-narik, menimbulkan keingintahuan dan rasa penasaran akan apa yang mungkin akan kami temui di puncak dari sebuah gunung, di riam sebuah sungai, disisi sebuah tebing, atau didasar sebuah gua. Perjalanan demi perjalanan dilakukan, tak langsung kami temukan apa maksud panggilan itu. Sampai akhirnya kami sadar, bahwa yang kami temukan hanyalah kelemahan diri kami sendiri, dan kenyataan bahwa tanpa alam, kita bukan apa-apa.
Kemudian, disadari atau tidak, kami ingin teman-teman kami, dan lebih banyak orang lagi, yang mendengar panggilan ini dan merasakan sentuhan ini. Untuk itulah kemudian Harsha Pratala didirikan.
tak terasa mulai mengubur beberapa detil ingatan. Beruntung ada foto-foto “jadul”, dan cerita dari banyak kawan yang kembali menguak sedikit demi sedikit rangkaian kejadian.
Harsha Pratala adalah sebuah wadah. Ia adalah buah dari ketakjuban dan sekumpulan pertanyaan dari
rasa penasaran akan sesuatu yang selalu kita rasakan, ketika melihat gunung di kejauhan, langit sore yang berkilauan, atau lembutnya hujan yang membawa bau tanah dan harapan. Pada kejadian-kejadian seperti itu, kita tidak dapat menafikan sebuah “panggilan” untuk kembali mendengarkan apa yang ingin disampaikan oleh alam.
Konon, pada masanya dahulu, manusia dan alam dapat bercakap layaknya dua sahabat baik seperjalanan. Saling menjaga dan mengingatkan, agar selamat sampai ke tujuan. Sejalan dengan majunya “peradaban”, kita membangun tembok yang semakin tinggi dengan alam. Sebagian besar kita, misalnya, sejak lahir, telah dipisahkan dari alam. Terangnya lampu listrik di malam hari, membuat kita tidak pernah menengadah untuk mengetahui sedang apa bulan saat ini? Rapatnya tembok pemukiman hampir membuat kita tidak pernah mengetahui perbedaan arah bertiupnya angin dan apa yang ingin diceritakannya? Dan sejak saat itu, kita mulai berhenti berbicara dengan alam. Namun, entah bagaimana, tampaknya kodrat untuk mampu mendengarkan “suara” alam selalu ada pada kita semua. Karena ketika kita diberi kesempatan untuk “berduaan” dengan alam, maka suara-suara panggilan itu akan kembali terdengar lagi, sayup sampai, mengajak-ajak kita untuk masuk dan turut kembali ke alam.
“Suara-suara” alam inilah yang mungkin kami dengar kembali dalam rangkaian kegiatan kampus STEKPI yang dilaksanakan bersebelahan dengan alam pada saat itu. Awalnya ia hanya menarik-narik, menimbulkan keingintahuan dan rasa penasaran akan apa yang mungkin akan kami temui di puncak dari sebuah gunung, di riam sebuah sungai, disisi sebuah tebing, atau didasar sebuah gua. Perjalanan demi perjalanan dilakukan, tak langsung kami temukan apa maksud panggilan itu. Sampai akhirnya kami sadar, bahwa yang kami temukan hanyalah kelemahan diri kami sendiri, dan kenyataan bahwa tanpa alam, kita bukan apa-apa.
Kemudian, disadari atau tidak, kami ingin teman-teman kami, dan lebih banyak orang lagi, yang mendengar panggilan ini dan merasakan sentuhan ini. Untuk itulah kemudian Harsha Pratala didirikan.
KRONOLOGI LAHIRNYA ORGANISASI HP
PRA - HP
Oktober 1988 adalah kali pertama mahasiswa STEKPI menjawab panggilan suara alam adalah saat belasan mahasiswa mencoba menyambangi Gunung Gede. Sebuah kegiatan kecil yang tak punya gaung apapun, namun itulah momentum awal sebuah organisasi yang berbasis kegiatan alam bebas di STEKPI. Bilamana kemudian ketika STEKPI berniat melaksanakan sebuah kegiatan berkemah, mahasiswa-mahasiswa yang sudah beraroma dekat dengan alam ini pun didapuk sebagai panitia pelaksana. Pertemuan dan perbincangan tentang pelaksanaan kegiatan alam bebas bersama, dalam kegiatan STEKPI Week-End Camping (SWEC) di bulan Maret tahun 1989 disusul kemudian dengan pelaksanaannya, membuat kami sering bertemu dan mengetahui kesamaan minat yang ada.
Ditengah-tengah acara perkemahan, beberapa teman menanyakan kepada Pak Gani dan Pak Yoni (Ketua dan Wakil Ketua STEKPI bidang Kemahasiswaan pada saat itu) mengenai kemungkinan membuat organisasi pencinta alam di STEKPI. Usulan langsung bersambut dengan dorongan dan persetujuan, meskipun belum secara formal.
Sejak saat itu, seolah menemukan kawan lama, kami menjadi lebih akrab, mulai berbagi cita-cita, dan
melakukan banyak perjalanan bersama. Gunung Gede dan Pangrango, sebagai gunung terdekat, menjadi tempat berjalan bersama.
Pertemuan-pertemuan untuk membicarakan nama, lambang, dan warna organisasi mulai dilakukan. Mengambil tempat di perpustakaan, kami sepakat memilih Harsha Pratala sebagai nama organisasi ini menepikan beberapa nama yang juga dicalonkan seperti Methapada dan Mahawana. Kemudian Biru Laut dinyatakan sebagai warna organisasi dan lambang organisasi dipilih sama dengan lambang STEKPI, namun diberi tambahan lingkaran dari tambang dan tulisan nama “Harsha Pratala.” Harsha Pratala sendiri artinya “Cinta Bumi beserta isinya”. Lingkaran tali tak berujung melambangkan persatuan yang tidak terputus. Sedangkan biru langit melambangkan bumi.
Tidak lama setelah itu, kelengkapan organisasi lainnya, yaitu Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, mulai disusun. Rumah Randi menjadi tempat favorit untuk merampungkan naskah AD/ART ini.
Semua kegiatan pra HP ini bermuara pada Peresmian Organisasi HP, yang dilakukan pada tanggal
8 Agustus 1989.
PRA - HP
Oktober 1988 adalah kali pertama mahasiswa STEKPI menjawab panggilan suara alam adalah saat belasan mahasiswa mencoba menyambangi Gunung Gede. Sebuah kegiatan kecil yang tak punya gaung apapun, namun itulah momentum awal sebuah organisasi yang berbasis kegiatan alam bebas di STEKPI. Bilamana kemudian ketika STEKPI berniat melaksanakan sebuah kegiatan berkemah, mahasiswa-mahasiswa yang sudah beraroma dekat dengan alam ini pun didapuk sebagai panitia pelaksana. Pertemuan dan perbincangan tentang pelaksanaan kegiatan alam bebas bersama, dalam kegiatan STEKPI Week-End Camping (SWEC) di bulan Maret tahun 1989 disusul kemudian dengan pelaksanaannya, membuat kami sering bertemu dan mengetahui kesamaan minat yang ada.
Ditengah-tengah acara perkemahan, beberapa teman menanyakan kepada Pak Gani dan Pak Yoni (Ketua dan Wakil Ketua STEKPI bidang Kemahasiswaan pada saat itu) mengenai kemungkinan membuat organisasi pencinta alam di STEKPI. Usulan langsung bersambut dengan dorongan dan persetujuan, meskipun belum secara formal.
Sejak saat itu, seolah menemukan kawan lama, kami menjadi lebih akrab, mulai berbagi cita-cita, dan
melakukan banyak perjalanan bersama. Gunung Gede dan Pangrango, sebagai gunung terdekat, menjadi tempat berjalan bersama.
Pertemuan-pertemuan untuk membicarakan nama, lambang, dan warna organisasi mulai dilakukan. Mengambil tempat di perpustakaan, kami sepakat memilih Harsha Pratala sebagai nama organisasi ini menepikan beberapa nama yang juga dicalonkan seperti Methapada dan Mahawana. Kemudian Biru Laut dinyatakan sebagai warna organisasi dan lambang organisasi dipilih sama dengan lambang STEKPI, namun diberi tambahan lingkaran dari tambang dan tulisan nama “Harsha Pratala.” Harsha Pratala sendiri artinya “Cinta Bumi beserta isinya”. Lingkaran tali tak berujung melambangkan persatuan yang tidak terputus. Sedangkan biru langit melambangkan bumi.
Tidak lama setelah itu, kelengkapan organisasi lainnya, yaitu Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, mulai disusun. Rumah Randi menjadi tempat favorit untuk merampungkan naskah AD/ART ini.
Semua kegiatan pra HP ini bermuara pada Peresmian Organisasi HP, yang dilakukan pada tanggal
8 Agustus 1989.
PERESMIAN ORGANISASI HP
Acara peresmian organisasi HP dilakukan dalam perjalanan ke Gunung Semeru. Sesungguhnya pada saat itu ada dua perjalanan yang dilakukan, satu tim menuju ke Gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat dan satu tim lain ke Gunung Semeru. Namun acara peresmian organisasi HP hanya dilakukan oleh tim Semeru.
Karena jalur pendakian ke Gunung Semeru saat itu ternyata sedang ditutup, maka tim Semeru kemudian mengalihkan tujuan perjalanannya ke kawasan Bromo. Melintasi kaldera Bromo menuju gunung Bromo. Di tengah perjalanan, sekitar 5 menit memasuki tanggal 8 Agustus 1989, Mas Titus membuat sebuah acara sederhana untuk membacakan surat pendirian organisasi UKM Harsha Pratala. Tanggal 8-8-1989 tersebut, kemudian disepakati menjadi hari kelahiran organisasi Harsha Pratala.
HP segera menjadi unit kegiatan mahasiswa (UKM) tertua di STEKPI, karena merupakan UKM yang
paling pertama berdiri.
1989…
Acara peresmian organisasi HP dilakukan dalam perjalanan ke Gunung Semeru. Sesungguhnya pada saat itu ada dua perjalanan yang dilakukan, satu tim menuju ke Gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat dan satu tim lain ke Gunung Semeru. Namun acara peresmian organisasi HP hanya dilakukan oleh tim Semeru.
Karena jalur pendakian ke Gunung Semeru saat itu ternyata sedang ditutup, maka tim Semeru kemudian mengalihkan tujuan perjalanannya ke kawasan Bromo. Melintasi kaldera Bromo menuju gunung Bromo. Di tengah perjalanan, sekitar 5 menit memasuki tanggal 8 Agustus 1989, Mas Titus membuat sebuah acara sederhana untuk membacakan surat pendirian organisasi UKM Harsha Pratala. Tanggal 8-8-1989 tersebut, kemudian disepakati menjadi hari kelahiran organisasi Harsha Pratala.
HP segera menjadi unit kegiatan mahasiswa (UKM) tertua di STEKPI, karena merupakan UKM yang
paling pertama berdiri.
Saat itu, tanggal 7 Agustus 1989, kami sedang bermalam di kaldera Bromo. Sekitar jam 23.45 saya dibangunkan oleh mas Titus, katanya: “… bangunkan yang lain, dan segera berkumpul …”.
Ditengah dinginnya malam, di tengah kaldera, kami berbaris dengan khidmat. Tepat jam 00.05, berarti sudah masuk tanggal 8 Agustus, mas Titus membacakan surat keputusan pendirian UKM Harsha Pratala. Dengan demikian, Secara resmi, organisasi HP telah berdiri pada tanggal 8 Agustus
Titus Hening Pramono
Mas Titus, begitu kami biasa memanggilnya. Lulusan FE UI ini, pada saat itu menjadi dosen untuk mata kuliah Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro. Perawakan dan pembawaanya yang biasa saja membuat kami pada awalnya tidak mengetahui hobi dosen yang suka bercanda ini. Sampai akhirnya Pak Peta dan Pak Penangsang memperkenalkan kami. Rupanya, ketika kuliah di Universitas Indonesia, Mas Titus juga gemar bermain di alam bebas, bergabung dengan Mapala UI, bahkan pernah menjadi ketua Mapala UI.
Mengetahui minat kami, mas Titus segera membantu. Dengan tangan yang ringan dan terbuka, dia ajarkan semua hal mengenai kegiatan alam bebas dan kepencintaalaman. Rujukan dan persepsi kami sebelumnya mengenai kegiatan pencinta alam, yang kami bawa dari masamasa SMA dan Pramuka, segera berubah dengan pandangan, ajaran, dan gayanya. Ajaran yang disampaikan dengan logika, contoh, dan keteladanan langsung di alam. Banyak perjalanan kami lakukan bersama Mas Titus, bahkan acara peresmian organisasi UKM Harsha Pratala merupakan “kejutan”-nya untuk kami semua.
Untuk jasa-jasa dan “virus” kecintaan kepada alam yang ditularkannya, Harsha Pratala ingin sekali mengangkat Mas Titus menjadi bukan sekedar Anggota Kehormatan. Mas Titus tidak lama berada di STEKPI. Dia kemudian berkarya di tempat lain. Namun hubungan kami tetap terjalin secara baik… Dan “virus” gaya kecintaan alam yang dia tanamkan, tetap hidup
KITA MELAJUTKAN
CERITA NYA
PASCA PERESMIAN
Rangkaian dimulai dengan pelaksanaan Diklat dasar pertama. Karena saat itu pembina HP, Mas Titus, berasal dari UI (beliau mantan Ketua Mapala UI), maka Diklat ini banyak diisi oleh temanteman instruktur dari Mapala UI, seperti Norman Edwin, Paido Panggabean, Toto, dan lain lain. Juga ada beberapa teman-teman dari UKI.
Adalah hal yang lucu mengingat bagaimana kami menyusun agenda Diklat sendiri, mencari/menghubungi instruktur sendiri, kemudian mengikuti diklat itu sendiri. Agenda diklat tentunya sangat sederhana, dan mencakup materi-materi dasar kegiatan alam bebas (terutama gunung
hutan), Manajemen Organisasi Perjalanan, serta Manusia dan Alam.
Hal yang lucu pula mengingat organisasi belum memiliki anggota namun ada orang-orang yang sedang berjuang untuk menjadi anggota organisasi yang dibentuknya sendiri.
Ketrampilan kami kemudian lebih banyak diasah oleh keteladanan yang diberikan oleh mas Titus dan oleh alam itu sendiri ketika melakukan perjalanan bersama. Seperti ketika kita melakukan sebuah perjalanan panjang ke TN Ujung Kulon di Bulan September 1989.
Cuaca pantai yang panas dan waktu perjalanan yang panjang membuat kami belajar lebih banyak lagi. Bahwa alam tempat kami bermain tidak melulu bersuhu dingin seperti di gunung. Bahwa kami harus dapat mengantisipasi dan beradaptasi dengan perbedaan iklim yang ada.
Harsha Pratala adalah sebuah lakon tentang hubungan manusia dengan alam. Lakon yang sejatinya adalah cerita bagaimana kita kembali mendengarkan suara alam, memahami pesannya, mengagumi kesannya dan belajar dari bijaknya. Belajar untuk kita, untuk semua.
Komentar
Posting Komentar